puing-puing zaman

Kabut berselubung misteri itu tiba-tiba saja terangkat dari dataran Bumi.

Dengan perasaan terperanjat seperti mimpi yang terputus, pandanganku tak dapat menangkap sesuatu, kecuali ranting-ranting yang bergeretak dimakan sisa-sisa api. Tombak-tombak menancap tak beraturan di atas tubuh-tubuh bergelimpangan. Beberapa panji yang usang_dilapukan zaman_berkibar dengan nada yang muram.

Bau anyir bercampur sangit menggantung di udara, menguap dari puing-puing reruntuhan benteng yang tak kukenal namanya.

Udara terasa beracun dan berat.

Aku mendengar bahana suara yang kian lama kian mendekat. Lalu dari kekosongan, dengan serta merta muncullah lingkaran cahaya. Kuusap kelopak mataku agar hatiku meyakini apa kulihat. Seorang lelaki tua berjanggut putih berada di lingkaran cahaya itu, mengambang, terapung-apung seperti jilatan api tertiup angin.

Di tangannya terdapat sebilah tongkat, yang ujungnya berupa ukiran, maha karya dari tangan-tangan terampil di masa lampau. Tubuhku bergetar ketika ia menumbukkan tongkat itu ke perut Bumi. Beberap saat aku terkesima; bagaikan mabuk kepayang padahal sesungguhnya tidak.

Saat mataku disilaukan oleh pantulan cahaya dari baju zirahnya yang berkilau-kilau, aku mendengar ia berkata dengan suara yang menggetarkan rongga dadaku.

“Bangkitlah, hai Anak Muda!” serunya. “Tentang mataku dengan berani. Jangan bersembunyi di tabir ketakutan!”

Itulah suara yang tak pernah terdengar oleh telingaku sebelumnya. Dan aku merasakan apa yang tak dapat terjelaskan dengan bahasa-bahasa yang kukenal.

“Bangkitlah! Aku seorang yang tua.

“Telah kuhabiskan masa-masa musim semiku untuk memeriahkan hati kaummu. Lembah-lembah, ngarai-ngarai, semuanya mengenal jejak kakiku. Lautan dan rimba raya, juga gunung-gunung menjulang_mengenal tetes keringatku.

“Akulah Sang Panglima!” nadanya meninggi. Sorot matanya  seolah ia sedang memberi tahuku segala apa yang dilampauinya di masa lalu.

“Jangan kau bertanya,’Apa yang terjadi dengan medan pertempuran ini?’ Ini adalah kancah kematian. Kematian bagi Bayang-Bayang Hitam.

“Jangan pula engkau berkata,’Mengapa sebagian manusia bersegera menuju kematian?’ Sesungguhnya mereka yang menghidupkan perdamaian dalam kebajikan, selamanya hidup di sisi Tuhan.

“Apakah yang menghalangimu sehingga engkau menghukumiku sebagai Penyokong Kejahatan, lantaran aku gunakan Kekuatan demi menegakan Kebenaran?

“Apakah Kekuatan hanya diizinkan untuk mereka, yang dengannya menghancurkan Negeri-Negeri saudaramu?”

Kurasakan kepedihan mendalam dari lubuk hatinya. Sehingga kata demi katanya seolah sembilu yang memerihkan segenap perasaan.

Lanjutnya, “Dengarlah! Akan kuberikan kata-kataku kepadamu.

“Apa yang sangat engkau takutkan di dunia ini, kelak menjadi sesuatu yang teramat sangat engkau inginkan.

“Dan perkataan mereka, bahwa engkau – wahai manusia ingkar – bagai binatang, bahkan lebih rendah dari padanya, itulah yang kelak menjadi pengharapan.”

Kini kulihat sorot matanya berkilat-kilat, sebanding dengan anak panah yang berkehendak menembus detak jantungku.

“Jelaskan kepada Jiwamu semua yang terahasiakan antara garis kelahiran dan kematian. Katakan padanya bahwa nafas, jiwa, serta ragamu bukanlah milikmu. Maka tanyakan kepadanya,’Apa yang menjadi alasanmu hingga tertahan dari meraih Kehidupan Surgawi?

“Kabarkan kepada Ibundamu, bahwa dari rahim kasihnyalah terlahir pahlawan-pahlawan, Pembawa Cahaya Gemilang yang nantinya menjadi mahkota di Negeri Kekal.

“Terangkan kepada Pemudamu bahwa waktu kalian teramat singkat untuk meraih keterhormatan di Negeri Akhirat. Maka kalian memperpendeknya dengan berpaling jauh dari seruanNya.

“Terangkan kepada Ayahandamu bahwa kematian adalah bagian dari Kehidupan. Jelaskan sejelas-jelasnya agar mereka tak merasa tua, melainkan hidup bagai gelora yang membara di bara keimanan. Sebab usia kehidupan dimulai dari titik Kematian hingga Negeri Keabadian, tetapi nafasnya berhembus di alam sebelumnya.”

_____________ . . .

Kudengar suara menderap mendekati tempat dimana aku berada.

Bayang-bayang berkelebatan di sisi kanan dan kiriku sebelum akhirnya aku tahu mereka berhenti di kedua sisi Lelaki di hadapanku; membentuk anak panah yang bercahaya _ . Cahayanya memanjang hingga ujung penglihatanku.