setangkai bunga surga

Kekasihku. Aku baru saja bermimpi.
Kita memiliki rumah idaman. Luas seperti yang kita harapkan.

Dan dindingnya disulam dari warna ungu kesukaanmu di antara putihnya.
Aku meletakan beberapa jambangan bunga cantik di ruang kita.

Dengan hati yang damai, kusiapkan segalanya untukmu. Gelas-gelas yang bercahaya
di kamar, bunga-bunga cantik di sisi ranjang, juga keharuman untuk kau hirup.

Dengarkan . . .
Setiap pagi. Akan kumandikan dirimu. Kubersihkan tubuh indahmu. Kusiramkan perlahan-lahan air yang sejuk itu.

Rambutmu . . . kusisiri perlahan-lahan.
Kukenakan busana terhalus pada tubuhmu.
Diamlah. Cukup diriku yang mengerjakannya.

Bila usai . . . sebuah kecupan paling hangat kuberikan untuk keningmu, hingga
seolah hatimu yang kukecup.

Begitu petang tiba. Kan kuulangi sekali lagi . . .

Kan kulakukan segalanya.
Karena aku ingin memunguti dari pikiranmu kegundahan.
Kubersihkan duka lara, kupetiki resah gelisah . . .
Tak kurelakan sebutir debupun ada di wajahmu . .  .

Hingga hanya kedamaian yang tersisa di wajah ayumu.
Keanggunan yang mencahayainya. Kesentosaan yang memancar dari bola matamu.

Engkau tidak makan kecuali makanan yang kusuapkan dengan segala
ketulusan hatiku. Kusiapkan minuman dan kau teguk saja karena aku membantu
menuangkannya . .  .

Kekasihku . . .
Sebelum engkau jatuh tertidur . . .
Kan kuusapkan kehangatan dari jemariku ke pundak dan tubuhmu.
Kan kusisiri rambutmu serapi-rapinya. Kuelus-elus sampai ketenangan turun
ke hatimu. Sambil kubercerita tentang mimpi-mimpi di masa depan.
Sambil kulantunkan firman-firmanNya yang maha indah.

Tenanglah.
Aku tak akan pergi kemanapun.
Kutemani dirimu. Aku akan duduk di sisimu hingga engkau terpejam.
Dan bila engkau telah di peraduanmu, kuselipkan setangkai bunga.

Kan kutatap dirimu dengan segala kecantikannya hingga aku puas.
Lalu aku akan pergi menghadap Tuhanku mengucapkan rasa terimakasih
sebab telah menganugerahkan bidadari untukku.

Kekasihku . . . ucapkanlah bisikanku . . .
Meski engkau tertidur, aku tahu jiwamu mendengarnya . .  .

pedih hatiku mengenangkanmu, Ibunda!

Jangan bangun surgamu di dahan pohon!Kita-para Elang- tidak mencari perlindungan di ladang dan taman manusia. Surga kita ada di puncak gunung, gurun luas dan tebing jurang. Haram bagi kita menjemput bulir-bulir jelai dari tanah, sebab Tuhan telah memberikan ruang lebih tinggi, tidak terbatas di angkasa. [Nasihat Elang kepada anaknya]

Kemarin hatiku menangis. Tak seorangpun menemaniku. Tangisku merana seorang diri. Oh . . . betapa pedihnya. Mengenangkanmu Ibundaku sayang . . . Di manakah hatiku !? Di manakah mataku ? O Mereka tenggelam dalam telaga kesedihan. Jangan menangis di hadapanku! Ratap mataku. Betapa pedihnya hati kala mengenangkanmu

O Ayahanda O Ibunda . . .

* * *

Tersandar punggungku di pohon kerinduan. Tatapanku jauh melayang menembus langit malam. Dan jatuhnya cahaya bintang menusuk relung hatiku yang merapuh. Oh Ayahanda . . . Tahukah engkau, kemarin cahayaku meredup? Asaku surut terseret gelombang zaman. Jiwaku melepuh terguncang badai. Tangisku hilang desahnya. Hanya dadaku menyesak hingga kerongkongan. Tetapi Ibunda mendatangiku dalam rupa jiwanya yang abadi. Ia menghulurkan kedua tangannya yang mendenyutkan ketabahan abadi. Ia menghadiahkan tatapan teduh yang disimpannya di belah jiwa. Ia mengalirkan air mataku kala menghadirkan ketulusan dalam senyumannya. Kudengar suara lembutnya saat Tuhanku menghadirkannya di celah kenanganku. Saat Ia berdiri di kesunyian malam. Bersujud penuh kedamaian. Dalam gelap malam. Saat Ia lantunkan ayat-ayat mulia di sudut kepiluan.

O Ayahanda ! Tahukah engkau tentang cintanya padamu ? Yang tak sempat terucapkan, tak terkatakan, tak terkalimahkan. Tahukah engkau tentang doanya yang tak pernah putus di Bukit Permohonan?

O hari ini Ia mendatangiku. Betapa pedih hatiku mengenangkanmu Ibundaku.